hukum rumah lebih tinggi dari masjid
HukumPosisi Imam Lebih Tinggi dari Makmum. Admin. Minggu, 29 Desember 2019. 6:08 AM. Komentar. Mungkin ada kebiasaan yang dilakukan oleh sebagaian kalangan kaum muslimin, yaitu meninggikan posisi imam lebih tinggi dari posisi makmum atau sebaliknya posisi makmum lebih tinggi dari imam. Lalu apa hukumnya menurut pendapat para
AlNawawi (w. 676 H) mengatakan bahwa perempuan lebih utama salat di rumah, khususnya pada bagian rumah yang paling tertutup berdasarkan hadis di atas. Dalam mazhab Syafi'i dimakruhkan perempuan dewasa atau muda salat bersama laki-laki di masjid dan dimakruhkan pula bagi orang tua atau pun suami untuk mengizinkan mereka salat di masjid.
SUARAMASJID adalah portal berita seputar masjid-masjid di Nusantara dan Mancanegara. Semoga sajian berita di Suara Masjid bermanfaat bagi umat Islam khususnya, masyarakat umumnya. Senin , 4 Juli 2022
TRIBUNBATAMid, BATAM - Selain helm, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan raya wajib memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Kepemilikan SIM wajib dan disesuaikan dengan jenis
PADANG- Jadwal belajar anak di rumah karena merebaknya virus Covid-19 di Kota Padang diperpanjang lagi.Sebelumnya berakhir pada 15 April, kini diperpanjang hingga 23 April 2020. Kebijakan itu dilakukan oleh Pemko Padang melalui Dinas Pendidikan Kota karena kondisi merebaknya virus covid-19 semakin luas dengan jumlah pasien postif bertambah setiap harinya.
mối tình đầu của tôi tập 52. Hukum Menghias Masjid Dengan Megah Hukum Menghias Masjid Dengan Megah Fri 14 February 2014 0612 Shalat > Masjid views Pertanyaan Assalamu'alaikum Wr. Wb. Ustadz,Apa hukum membangun masjid yang megah yang dipenuhi dengan ornamen dan hiasan yang mahal-mahal, bahkan ada sebagian ada yang hiasannya terbuat dari syariat Islam memandang masalah bermegahan dalam menghias masjid? Demikian, jazakallah atas penjelasannya Jawaban Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ada dua istilah yang terkait dengan renovasi masjid yang seringkali dipahami orang secara terbolak-balik. Kedua istilah itu adalah tasy-yid al-masjid dan tazyin al-masjid. Keduanya berbeda, baik dari segi pengertian dan juga dari segi hukumnya. A. Tasy-yid Al-Masjid 1. Pengertian Kita mengenal istilah tasy-yid al-masjid تشييد المسجد, yang merupakan istilah dalam bahasa Arab, berasal dari kata dasar syayyada yusyayyidu tasy-yidan شيّد - يشيّد - تشْييدا. Pengertian istilah ini dalam bahasa Indonesia adalah membangun ulang, merenovasi atau merekonstruksi ulang. Sehingga istilah tasy-yid al-masjid bisa kita artikan sebagai upaya untuk memperbaiki, merekosntruksi, atau merenovasi sebuah majis. Merenovasi masjid bisa saja kecil-kecilan, tanpa mengubah apapun, baik bentuk maupun struktur bangunan, kecuali hanya memastikan semua kelengkapan masjid berfungsi dengan baik. Tetapi merenovasi masjid juga tetapi bisa bisa bermakna lebih luas yaitu renovasi total. Renovasi total bisa saja melakukan perubahan struktur bangunan, penambahan luas, dan juga termasuk dalam arti merobohkan bangunan lama dan membangun kembali dari awal. Semua termasuk dalam kategori tasy-yid al-masjid. 2. Hukum Seluruh ulama sepakat membolehkan tindakan merenovasi masjid, karena renovasi masjid termasuk ke dalam bagian memakmurkan masjid. Dan memakmurkan masjid adalah salah satu perintah Allah SWT yang telah ditetapkan pensyariatannya di dalam Al-Quran Al-Kariem إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. QS. At-Taubah 18 Selain ayat di ayat, dasar masyru’iyah renovasi masjid juga berlandaskan apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab dan Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhuma. Meski Rasulullah SAW tidak pernah melakukan renovasi masjid, namun kedua shahabat beliau yang berposisi sebagai amirul-mukminin, dalam masa pemerintahan masing-masing melakukan renovasi. Tentu kalau Rasullah SAW tidak merenovasi masjid, karena saat itu belum ada alasan yang kuat dan menjadi pendorong. Sedangkan di masa kedua khalifah, ada kebutuhan untuk memperluas bangunan, terkait dengan semakin membeludaknya jamaah di masjid, atau juga karena kebutuhan lainnya. B. Tazyin Al-Masjid 1. Pengertian Secara bahasa, kata tazyin dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata dasar zayyana yuzayyinu tazyinan زيّن - يًزيِّن - تزْيِينا. Artinya adalah memberi hiasan agar terlihat menjadi indah dipandang mata. Di dalam Al-Quran Al-Karim, Allah SWT berfirman يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan . Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. QS. Al-A’raf 31 Kata tazyin تَزْيِين adalah kosa kata dalam bahasa Arab, yang bermakna اسْمٌ جَامِعٌ لِكُل شَيْءٍ يُتَزَيَّنُ بِهِ Kata yang mencakup segala hal yang terkait dengan sesuatu yang dihias Istilah tazyinul-masjid secara bebas bisa diterjemahkan dengan istilah menghias masjid. Namun sebagian dari para ulama memahami istilah tazyinul-masjid ini bukan sekedar dalam makna membuat masjid yang indah atau sekedar menghiasnya, tetapi sudah sampai kepada titik berlebih-lebihan dalam menghiasnya. 2. Hukum Masalah menghias masjid memang diperselisihkan para ulama di masa lalu. Namun perselisihan mereka berangkat dari kenyataan bahwa hiasan itu sangat mahal, karena terbuat dari ukiran kaligrasi dan aksesorisnya yang terbuat dari emas dan perak. Hiasan seperti itu tentu sangat mahal harganya, bahkan untuk ukuran seorang penguasa sekalipun. Adapun hiasan yang biasa kita lihat di masjid-masjid di sekeliling kita ini, tidak lain hanya terbuat dari cat tembok. Indah memang, tetapi hanya imitasi belaka, bukan emas dan perak seperti di masa lalu. Kalau hanya berupa kaligrafi dengan cat tembok, rasanya tidak ada nash yang secara langsung melarangnya. Sebaliknya, bila hiasan itu sampai menghabiskan dana yang teramat mahal, karena harus menghabiskan emas berton-ton, banyak para ulama di masa lalu yang memakruhkannya, bahkan juga tidak sedikit yang sampai mengharamkannya. Awalnya masalah tazyinul masjid ini tidak pernah terangkat menjadi perbedaan pendapat, karena umumnya masjid di masa Rasulullah SAW dan di masa para shahabat, didirikan dengan amat bersahaja dan sederhana. Hanya sebagiannya yang beratap, itu pun hanya berupa daun kurma. Alasnya bukan marmer, tetapi tanah atau pasir. Tiangnya bukan beton tetapi hanya batang-batang kurma. Dan hal itu terjadi hingga masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun. Barulah pada masa khilafah Al-Walid bin Abdil Malik, masjid-masijd dihias dengan berlebihan, yaitu dengan ukiran kaligrafi dari emas dan kalau dihitung jumlahnya, bisa mencapai ratusan kilogram bahkan sampai berton emas dan perak. Jadi harganya memang terlalu amat sangat mahal sekali. Realitas ini kemudian disimpulkan oleh sebagian ulama sebagai isyarat tidak bolehnya kita menghias masjid dengan hiasan yang mewah. Bahkan oleh sebagiannya dianggap bid’ah, buang harta dan haram. Namun masalah ini memang sejak awal termasuk masalah khilaf pada fuqaha. Bahkan ke-empat imam mazhab utama pun tidak seragam pendapatnya. C. Naqsy Al-Masjid Selain itu juga ada istilah-istilah khusus yang secara lebih sempit sering digunakan, terkait dengan istilah tazyinul-masjid, misalnya istilah naqsy dan lainnya. 1. Pengertian Naqsy Istilah an-naqsy النقش adalah kosa kata dalam bahasa Arab, yang maknanya membuat gambar, ukiran atau motif yang timbul. Contoh mudah naqsy ini adalah stempel yang biasa digunakan untuk mengesahkan surat. Karet stempel itu diukir sedemikian rupa sehingga tulisan atau gambarnya menjadi timbul. Stempel yang merupakan naqsy ini dimiliki oleh Rasulullah SAW berbentuk cincin namun berfungsi untuk mengesahkan surat resmi yang beliau kirim kepada para penguasa dunia. Cincin beliau SAW itu tidak lain adalah stempel, bertuliskan tiga lafadz suci Muhammad Rasul Allah محمّد رسول الله, maknanya adalah Muhammad utusan Allah. Karena ketiga lafadz ini tergolong suci, maka setiap kali beliau masuk ke WC, untuk menghormati lafadz yang suci ini, beliau SAW melepas cincin itu terlebih dahulu. Selain stempel Rasulullah SAW, para khalifah pengganti beliau dalam kedudukan sebagai kepala negara pun juga memilikinya. Abu Bakar radhiyallahuanhu memiliki stempel yang bertuliskan ni’mal qadiru Allah نعم القادر الله yang bermakna Allah sebaik-baik penentu atau penguasa. Amirul Mukminin radhiyallahuanhu juga memiliki stempel kenegaraan. Stempel Umar bertuliskan lafadz kafa bil-mauti wa’iza كفى بالموت واعظا, yang maknanya cukuplah kematian itu menjadi pengingat. Stempel Amirul Mukminin Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu bertuliskan lafadz latashbiranna au latandamanna لتصبرنّ أو لتندمنّ. Maknanya bersabarlah atau kamu akan rugi. Sedangkan stempel Ali bin Abi Thalib bertuliskan lafadz al-mulku lillah الملك لله , yang maknanya Kerajaan itu milik Allah. 2. Hukum Naqsy Masjid Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menghias masjid dengan ukiran yang timbul, atau an-naqsy. a. Jumhur Ulama Makruh Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat memakruhkan tindakan ini, dengan dasar hukum bahwa an-naqsy ini termasuk kategori bermewah-mewah dalam tingkat yang dianggap sudah berlebihan. Barangkali an-naqsy di masa itu selain sulit dikerjakan, juga terbilang sangat mahal. Karena lazimnya naqsy ini adalah membuat ukiran timbul yang terbuat dari emas atau logam-logam mulia. Sehingga tindakan seperti itu dianggap berlebihan dan buang-buang biaya. Sedangkan landasan nash yang mereka jadikan sebagai dasar untuk memakruhkan adalah hadits berikut ini لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali bila orang-orang telah bermewah-mewah dalam masjid HR. Abu Daud dan Ibnu Majah b. Al-Hanafiyah Tidak Makruh Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah tidak memakruhkan tindakan nasqy pada masjid. Dan termasuk yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Wahab dan Ibnu Nafi’ dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, dan sebagian ulama mazhab Asy-Syafi’iyah, apabila nasy itu sedikit saja. 3. Sebab Kemakruhan Makruh yang ditetapkan oleh jumhur ulama ini karena setidaknya ada dua alasan a. Tidak Amanah Penyebab makruhnya naqsy pada masjid adalah karena akan menyebabkan tersia-siakannya amal jariyah umat Islam, dari yang seharusnya untuk membiayai hal-hal yang lebih produktif dan menempati skala prioritas utama, menjadi sekedar untuk hal-hal yang kurang produktif dan bukan prioritas. Sehingga akan berdampak pada kurang berlipatnya pahala orang yang menafkankan hartanya buat masjid tersebut. Jadi intinya menurut jumhur ulama, bahwa harta yang telah orang-orang berikan untuk masjid, baik infaq biasa atau wakaf, tidak layak untuk sekedar dibelanjakan buat berbagai hiasan yang megah dan mahal-mahal. Tetapi seharusnya untuk kepentingan yang memang nyata dibutuhkan dalam operasional masjid, yang langsung dirasakan manfaatnya oleh umat Islam. Namun jumhur ulama tidak memakruhkan apabila dana yang digunakan untuk itu adalah dana pribadi langsung. Misalnya seseorang memang sengaja membangun masjid dengan dana pribadi, bukan dengan dana yang dikumpulkan dari orang lain atau dari masyarakat, maka bila dia berkeinginan membangunnya dengan megah, penuh dengan ukiran dan hiasan-hiasan yang mahal, hukumnya tidak menjadi makruh. Dan mestinya, bila orang yang mewakafkan hartanya memang tahu persis bahwa dana yang diberikannya untuk masjid itu bertujuan sekedar untuk membuat naqsy yang tidak terlalu produktif, dan dia rela serta tidak merasa dirugikan, tentu tidak menjadi masalah juga. b. Menggangu Konsentrasi Kedua, makruhnya naqsy disini karena faktor takut akan memecah konsentrasi jamaah yang sedang shalat. Dikhawatirkan mereka akan sibuk memandangi dan mengagumi ukiran dan hiasan yang mewah itu, sehingga boleh jadi malah tidak bisa fokus dalam mengerjakan shalat. Oleh karena itu, jumhur ulama membedakan antara naqsy yang dibuat di arah kiblat dengan yang bukan di arah kiblat. Kemaruhannya hanyalah apabila naqsy ini dibuat di arah kiblat jamaah shalat, seperti di mihrab imam, atau diarah dinding depan dari jamaah shalat. Sebab meski disunnahkan dalam shalat harus menundukkan pandangan, namun tetap saja besar kemungkinan orang-orang yang sedang shalat akan teralihkan perhatiannya ke arah depan wajah mereka. Sebaliknya, bila naqsy itu dibuat bukan di arah kiblat, atau dalam kata lain, tidak sampai mengalilhkan konsentrasi orang yang sedang shalat, maka tidak ada kemakruhan di dalamnya. c. Menyalahi Sunnah Nabi Pendapat yang memakruhkan naqsy ini juga punya dalil yang lain, yaitu menghias masjid dengan gemerlap tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat beliau. Masjid di masa mereka sama sekali sepi dari berbagai macam perhiasan yang mahal dan merusak konsentrasi jamaah. Namun tidak mengurangi nilai kemuliaan dan keutamaan masjid-masjid itu sampai sekarang ini. Maka kalau di masa sekarang ada keinginan agar masjid itu menjadi mulia dan punya kedudukan yang tinggi, bukan dengan jalan membuat perhiasan yang mewah, melainkan dengan cara menjadikan masjid itu sebagai pusat aktifitas dan kegiatan masyarakat. Jadi bukan bangunannya yang diurus, tetapi bagaimana mengurus sumber daya manusianya. Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. QS. At-Taubah 108 Dan juga sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, yang lebih mengutamakan penyebutan orang yang hati nya bergelantungan atau terpaut selalu dengan masjid. Dalam hal ini Beliau SAW sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang arti dan nilai kemegahan suatu masjid dari sudut pandang keindahan bangunan dan aneka ragam hiasannya. Tetapi yang beliau sebut adalah sumber daya manusianya, yang dikatakan terpaut dengan masjid. Rasulullah SAW bersabda سَبْعَةٌ يَظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّه إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌ نَشَأَ فيِ طَاعَةِ اللهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالمَسَاجِدِ ... Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka pada hari yang tiada naungan melainkan naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dengan beribadat kepada Allah dan laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid. HR. Bukhari dan Muslim Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MABaca Lainnya Dosa Riba Setara Berzina Dengan Ibu Kandung Sendiri? 13 February 2014, 0032 Muamalat > Riba viewsBeda Pajak dengan Zakat 12 February 2014, 0406 Zakat > Pengertian Zakat dan Batasannya viewsAdakah Ahli Waris Pengganti? 11 February 2014, 0601 Mawaris > Ahli waris viewsOrang Tua Non-Muslim, Apakah Wajib Menafkahi Mereka? 10 February 2014, 0612 Umum > Hukum viewsImam Terlalu Lama, Bolehkah Mufaraqah? 9 February 2014, 0502 Shalat > Makmum viewsWajibkah Seorang Anak Memberi Nafkah Kepada Orang Tuanya? 8 February 2014, 1300 Pernikahan > Hak dan kewajiban viewsApa Yang Disebut Satu Kali Susuan? 7 February 2014, 1017 Pernikahan > Mahram viewsTayammum Sampai Siku Atau Pergelangan Tangan? 6 February 2014, 0630 Thaharah > Tayammum viewsBolehkah Kita Sepakat Tidak Pakai Hukum Waris? 4 February 2014, 0603 Mawaris > Masalah terkait waris viewsHaruskah Tayammum Lagi Tiap Mau Shalat? 3 February 2014, 0601 Thaharah > Tayammum viewsHukum-hukum Terkait Najis 2 February 2014, 1350 Thaharah > Najis viewsWasiat Orang Tua Bertentangan Dengan Hukum Waris 1 February 2014, 0520 Mawaris > Masalah terkait waris viewsHaruskah Berwudhu Dengan Air Dua Qulah? 31 January 2014, 1200 Thaharah > Air viewsTahun Baru Imlek dan Angpau 30 January 2014, 0626 Kontemporer > Fenomena sosial viewsBolehkah Menjama' Shalat Karena Sakit? 29 January 2014, 0630 Shalat > Shalat Jama viewsBolehkah Foto Paspor Tanpa Jilbab? 28 January 2014, 0616 Wanita > Pakaian viewsHukum Mengenakan Cadar, Wajibkah? 27 January 2014, 0500 Wanita > Pakaian viewsMasih Berhakkah Anak Murtad atas Warisan Ayahnya yang Muslim? 26 January 2014, 0635 Mawaris > Masalah terkait waris viewsJual Beli Dua Harga Haram, Bagaimana dengan Kredit? 25 January 2014, 0610 Muamalat > Jual-beli viewsAnak Meninggal Lebih Dulu Dari Ayah, Apakah Anak itu Dapat Warisan? 24 January 2014, 1200 Mawaris > Hak waris viewsTOTAL tanya-jawab 49,908,171 views
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Masjid adalah tempat beribadah kepada Allah SWT seperti sholat, berdzikir, membaca al-Quran, dan lainnya. Selain itu kita tahu, bahwa masuk dan keluar dari masjid memiliki tatakrama tersendiri, hal itu tidak lain karena bentuk penghormatan kita kepada rumah sang dapat dipungkiri lagi, bahwa sesuatu yang tidak layak dilakukan di masjid sekarang malah sudah banyak terjadi. Contoh ramai-ramai di masjid, makan-makan, ngobrol hal-hal yang tidak berguna, tidur didalam masjid. Dan tidak jarang rupanya, hal-hal tadi juga malah menggangu kepada orang yang sedang sholat ataupun yang sedang menjalankan aktivitas ibadah yang lainnya. Akhirnya, banyak dari kalangan ta'mir masjid membuat sebuah peraturan yang melarang semua itu. Sampai-sampai ada dari sebagian orang yang sholat disana berkata "lebih baik saya ibadah dirumah dari pada dimasjid tapi tidak khusyu' karna terlalu rame".Selain itu, masjid sekarang juga banyak fungsikan untuk selain sholat. Misalnya; digunakan untuk tahlilan, haul, majlis ta'lim dan lain-lain. Dari hal-hal tadi terkadang membuat resah orang yang sedang sholat, karena tempat yang sempit dan mereka merasa terganggu. Dalam menyikapi masalah-masalah diatas menurut kaca mata fikih, sebenarnya bagaimanakah hukum ramai-ramai, ngobrol atau bercanda, makan-makan, dan tidur didalam masjid, kemudian bagaimana jika hal-hal tadi sampai mengganggu pada orang yang sedang sholat atau menjalankan aktivitas ibadah yang lainnya, dan apakah melaksanakan tahlilan, istighostah, pengajian al-Quran didalam masjid dilegalkan oleh syariat, mengingat masjid diwakafkan untuk orang sholat saja ?. Dan bagaimana jika perkara tadi dapat mempersempit dan mengagangu orang yang sedang sholat?. Pada dasarnya ramai-ramai di masjid seperti; ngobrol hal-hal yang tidak layak untuk diperbincangkan didalam masjid , makan-makan dan tidur hukumnya boleh hanya saja untuk dua contoh yang terakhir hukumnya bisa berubah menjadi haram ketika dapat mengotori masjid. Namun, ketika melihat masalah ini melewati kaca mata adab maka dianjurkan untuk menjahui prilaku tersebut karna termasuk min babi su'il adab prilaku yang jelek .Sebenarnya,3 prilaku diatas hukumnya boleh ketika memenuhi beberapa pertimbanagan sebagai berikuta jika semua prilaku tersebut tidak dilarang oleh ta'mir masjid, karna mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh ta'mir hukumnya wajib layaknya mematuhi perintah dan larangan dari sulthon atau imam. Ta'mir masjid setara dengan sulthon atau imam karena sama-sama termasuk ulil amri pengurus untuk ummat muslim .b jika prilaku-prilaku tersebut tidak mengganggu kepada orang yang sedang sholat. Adapun kalau mangganggu maka hukumnya makruh bahkan bisa haram ketika sampai menyakiti hati mereka . Sedangkan hukum menyelenggarakan pengajian, tahlil, dan acara-acara islam lainnya di masjid hukumnya boleh karna termasuk min babi imarotil masjid meramaikan masjid dengan ibadah , selagi tidak mengganggu pada manfaat awal dari masjid yaitu sholat. Adapun kalau acara-acara diatas dapat mengganggu pada orang yang sholat atau mempersempit tempat mereka maka hukumnya adalah makruh. Oleh; IbnuQusai Lihat Pendidikan Selengkapnya
Pertanyaan Ayahku berwasiat sebelum wafat agar membangun masjid dari sebagian uangnya sebagai shadaqah jariyah dengan membuat mushalla di lantai dasar sedangkan di atasnya dibangun balai pengobatan sosial, pusat hafalan Qur’an, perpustakaan Islam serta Parkir mobil. Apakah dibolehakn mendirikan bangunan di atas masjid atau di bawahnya. Ataukah wasiatnya diubah sehingga bangunan masjid dibangun sendiri sementara kegiatan lainnya dibuat bangunan secara terpisah? Teks Jawaban mengapa masjid berada di bawah bangunan atau di atasnya. Kalau sejak semula dibangun dengan bentuk seperti ini. Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah’ dikatakan, bahwa kalangan Syafiiyyah, Malaikiyah dan Hanbaliyah membolehkan menjadikan bagian atas rumah sebagai masjid bukan di bawah, begitu juga sebaliknya dibolehkan. Karena keduanya bangunan atas dan bawah adalah dua hal yang boleh diwakafkan, maka dibolehkan mewakafkan salah satunya tanpa yang lainnya.” Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya ”Saya membangun rumah, sementara niat telah bulat sebelum membangun rumah akan membangun masjid di bawahnya. Bangunan telah selesai dan bangunan telah ditetapkan kiblatnya, begitu pula sudah dibangun kamar mandi khusus untuk masjid dan para tukang jaga, tinggal mengecat dinding saja. Dan masjid sudah sesuai dengan bentuk yang Islami. Saya mendengar dari sebagian orang bahwa menjadikan masjid di bawah rumah tidak dibolehkan. Akhirnya saya tidak menempati bangunan tersebut serta tidak meneruskan pembangunan masjid sejak lima tahun lalu sampai mendapatkan kejelasan. Maka apa pendapat para ulama yang kami muliakan tentang membangun masjid di bawah rumah? Perlu diketahui bahwa di sana sudah ada masjid-masjid kecil selain masjid ini yang dibangun di sekitarnya sejak masa penghentian ini. Dan mulai mulai banyak masjid-masjid kecil. Berikanlah kami kejelasan, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan? Mereka menjawab “Tidak mengapa kenyataan masjid dibawah rumah, jika masjid dan rumah dibangun sejak pertama seperti ini. Atau menjadikan masjid baru di bawah rumah. Adapun jika kemudian membangun rumah di atas masjid, maka hal ini tidak boleh. Karena atap dan atas masjid mengikuti masjid.” Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/220. Jilid II Kedua Asalnya adalah melaksanakan wasiat tanpa merubahnya, selagi tidak mengandung suatu dosa. Berdasarkan firman Allah Ta’ala فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ سورة البقرة 181 “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Baqarah 181 Adapun jika merubahnya kepada yang lebih baik, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata ”Merubah wasiat kepada yang lebih utama, diperselisihkan para ulama. Di antara mereka mengatakan, hal itu tidak boleh. Berdasarkan keumuman firman Allah “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya’ QS. Al-Baqarah 181. Tanpa ada pengcualiaan melainkan kalau ada dosa di dalamnya. Maka urusannya tetap semula tidak berbubah. Di antara mereka ada yang berpendapat, justeru dibolehkan merubah ke yang lebih utama. Karena tujuan dari wasiat adalah mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dan manfaat orang yang diberi wasiat. Maka segala sesuatu yang lebih mendekatkan diri kepada Allah serta lebih bermanfaat kepada yang diberi wasiat, akan lebih utama juga. Orang yang berwasiat adalah manusia biasa yang terkadang tak tampak baginya apa yang lebih utama. Bisa jadi yang utama dalam satu waktu, tidak yang lebih utama pada waktu lain. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah membolehkan merubah nazar ke yang lebih utama disertai harus menunaikannya. Menurut pendapat saya dalam masalah ini, kalau wasiat itu untuk orang tertentu,maka tidak dibolehkan merubahnya. Seperti kalau wasiat untuk Zaid saja atau mewakafkan suatu wakaf kepada Zaid, maka tidak diperkenankan merubahnya, karena haknya tergantung kepada orang tertentu. Kalau sekiranya tidak ditentukan –seperti untuk masjid atau orang-orang fakir – maka tidak mengapa diberikan kepada yang lebih utama.” Tafsir Al-Qur’an, karangan Syekh Al-Utsaimin, 4/254 Dengan demikian, dibolehkan membangun masjid sendiri dan tempat kegiatan-kegiatan sosial secara terpisah, begitu pula dibolehkan menjadikan semuanya dalam satu bangunan. Wallallhu’alam .
Assalamu’alaikum wr. wbYang terhormat redaksi Bahtsul Masail NU Online, saya hendak mengajukan pertanyaan. Untuk lantai masjid, apakah antara imam dan makmum sebaiknya dibuat rata atau tinggi tempat imamnya. Mohon jawaban serta dalilnya. Terima ’alaikum wr. wb Ahmad Qodri/JeparaJawabanAssalamu’alaikum wr. wbPenanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Sepanjang yang kami ketahui dalam khazanah fikih madzhab Syafi’i mengenai tempat berdirinya imam atau istilah populer di masyarakat kami pengimaman sebaiknya dibuat rata, tidak lebih tinggi dari tempatnya makmum. Begitu juga jika satu lebih tinggi dihukumi makruh. Salah satu dalil yang digunakan sebagai dasar dari pendapat ini adalah adalah riwayat dari Abu Dawud dan أَنْ يَرْتَفِعَ أَحَدُ مَوْقِفَيْ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ عَلَى الْآخَرِ لِأَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ عَلَى دُكَّانٍ في الْمَدَائِنِ فَأَخَذَ ابْنُ مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَذَبَهُ فَلَمَّا فَرَغَ من صَلَاتِهِ قال أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِيْنَ جَذَبْتنِي رَوَاهُ أبو دَاوُدَ وَالْحَاكِمُ وقال صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَقِيسَ بِذَلِكَ عَكْسُهُ.“Dimakruh salah satu tempat atau posisi imam dan makmum lebih tinggi atas yang lain karena ada riwayat yang menyatakan bahwa sahabat Hudzaifah RA pernah mengimami orang-orang di kota Madain di atas dukkan, lantas Ibnu Masud RA memegang gamis dan menariknya. Ketika Hudzaifah selesai dari shalatnya, Ibnu Masud berkata, “Apakah kamu tidak tahu bahwa mereka melarang hal itu.” Hudzaifah pun menjawab, Tentu aku tahu, sungguh aku ingat ketika kamu menarik gamisku.” Ini telah diriwayatkan Abu Dawud dan berkata bahwa riwayat ini adalah sahih sesuai persyaratan kesahihan yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Sebaliknya makmum lebih tinggi dari imam dikiaskan dengan hal tersebut. Lihat Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, halaman 234.Namun kemakruhan tersebut bisa berganti menjadi kesunahan apabila ada kebutuhan atau hajat yang menghendaki tempat imam lebih tinggi seperti adanya tujuan untuk memberikan pengajaran shalat sehingga bisa terlihat jelas oleh semua احْتَاجَهُ أَيْ الِارْتِفَاعَ الْإِمَامُ لِتَعْلِيمِ الصَّلَاةِ أو لِغَيْرِهِ أو الْمَأْمُومُ لِتَبْلِيغِ تَكْبِيرَةِ الْإِمَامِ أو لِغَيْرِهِ اُسْتُحِبَّ لِتَحْصِيلِ هذا الْمَقْصُودِ“Kemudian apabila imam butuh untuk berdiri lebih tinggi dari makmum karena untuk mengajari shalat atau selainnya, atau makmum lebih tinggi karena agar bisa menyampaikan takbirnya imam atau selainya, hal itu disunahkan karena untuk memenuhi tujuan tersebut.” Lihat Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, juz, I, halaman 234.Dengan demikian poin penting yang harus digarisbawahi di sini adalah adanya kebutuhan atau tidak. Jika ada kebutuhan, itu menjadi sunnah. Jika tidak ada kebutuhan, ia menjadi makruh. Tetapi kesimpulan ini bukan tanpa persoalan, terutama yang terkait hukum makruh dalam konteks ini, yaitu ketika tidak ada kebutuhan atau batas ketinggian tempat imam atau makmum yang memiliki konsekuensi hukum makruh?Di sinilah kemudian al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi memberikan penjelasan yang hemat kami sudah cukup memadai. Menurutnya, tinggi dalam konteks ini tinggi yang kasat mata kendati hanya sedikit. Tetapi jika urf menganggapnya itu tinggi, maka tetap dihukumi اِرْتِفَاعُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ أَيْ اِرْتِفَاعًا يَظْهَرُ حِسًّا، وَإِنْ قَلَّ، حَيْثُ عَدَّهُ الْعُرْفُ اِرْتِفَاعًا“Perkataannya tingginya tempat salah satu dari keduanya di atas yang lain’, maksudnya adalah ketinggian yang kasat mata dimana urf menganggapnya tinggi meskipun sedikit,” Lihat al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anah ath-Thalibin, Beirut Darul Fikr, juz, II, halaman 30.Demikian penjelasan yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para muwaffiq ila aqwamith thariq,Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhMahbub Ma’afi Ramdlan
- Di Indonesia, pendirian rumah ibadah diatur oleh pemerintah. Mengingat Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki keberagaman agama, pengaturan ini dilakukan untuk menghindari konflik antarumat beragama. Pengaturan terkait tata cara pendirian rumah ibadah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum umat beragama, dan pendirian rumah ibadah. Pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa pendirian rumah ibadah harus berdasarkan pertimbangan dan keperluan nyata dengan memperhatikan komposisi jumlah penduduk, termasuk dalam pendirian Antar Masjid pada Umumnya Salah satu pendirian rumah ibadah adalah rumah ibadah umat muslim yaitu masjid. Umumnya tidak ada aturan pasti jarak antara masjid satu dengan yang lain karena hal ini dikembalikan kepada peraturan desa setempat. Penentuan aturan ini melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan ulama. Namun, sebagian besar jarak antara masjid satu dengan masjid yang lain minimal adalah 500 meter. Adat istiadat, hukum sosial, dan kontrol kebijakan masyarakat juga memengaruhi keberadaan bangunan masjid. Baca juga Gaya Arsitektur Bangunan Masjid di IndonesiaPengaturan pendirian bangunan masjid memakai istilah kewenangan domisili sekitar. Kewenangan domisili sekitar mengacu pada kecenderungan masyarakat, izin membuat bangunan, dan ketersediaan tanah. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Alquran. Membangun masjid meskipun berjarak dekat tetap dianjurkan selama dilandasi dengan takwa. Sebaliknya, apabila pembangunan masjid dilandasi untuk memecah persatuan umat, maka hukumnya adalah haram. Persyaratan Pendirian Rumah Ibadah Syarat yang dicantumkan dalam peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri dalam mendirikan rumah ibadah meliputi persyaratan teknis dan administratif, yaitu Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk atau KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota. Rekomendasi tertulis dari forum kerukunan umat beragama kabupaten atau kota. Referensi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
hukum rumah lebih tinggi dari masjid